Selasa, 26 Juli 2011

Salam dan bahagia...
Taman Madya, ya... itulah perguruanku. Sebuah  kebanggaan tersendiri bagiku pernah berada di TMIP, Tamansiswa Yogyakarta yang telah mendidik dan menggembleng aku menjadi seperti sekarang ini. Meski aku sekarang belum menjadi orang besar ataupun tenar. Aku hanya mampu mengucapkan terima kasih kepada bapak ibu pamong atas jasa-jasa mereka yang tiada tara demi anak didiknya. Kerinduanku pada beliau semua membuatku selalu bersemangat dalam mengambil setiap langkah dan tindakan.Baik itu dalam alam nyata maupun dalam dunia maya.Dalam suka dan duka, dalam terang maupun gelap.(Rasane kangen banget)
Pak Sugeng Subagya, pak Bagyo, pak Murni Rahwinarto, pak Marjono, pak Tanto, pak Totok, pak Amin, bu Rais, bu Ambar, bu Endang, bu Bekti, bu Kamti, bu Maya, pak Basuki, pak Martono, pak Dewo, pak Dion, pak Sudi Rahmanto, pak Tri, bu Made, pak Widodo, bu Tutik, pak Hargo, bu Atun, pak Khamijo dan lain-lainnya Kalian semua akan selalu menghiasi dalam kenangan sejarah hidupku di masa lalu.(Karo mbayangke wajah-wajah bapak-ibu)


Berusaha menjalani hidup untuk menjadi manusia yang "Selangkah Lebih maju", seperti pesan Bp. Sugeng Subagya di TMIP pada upacara bendera adalah, sangat di butuhkan dan di perlukan dalam mengarungi hidup ini.Meski kata-kata itu sudah  beberapa tahun lalu ketika masih dalam perguruan, tapi akan selalu ku ingat.(wektu kui pak Sugeng pidato nganggo klambi safari coklat, pas jaman henpon anyaran, henpon pak sugeng pas anyar)

Di mana aku berada hari ini, akibat kemarin aku ada di sana.Bagiku, hidup itu sederhana, kita memilih dan kita menjalani atas pilihan kita dan jangan pernah menyesalinya.Semua manusia pasti akan mati dan beralih ke kehidupan yang lain. Aku mengibaratkannya seperti hukum kekekalan energi yang pernah di ajarkan ibu guru kimia, bu Bekti, "Energi tidak dapat di ciptakan maupun di musnahkan, Enenrgi hanya dapat berubah bentuk".Setelah manusia mati, maka akan beralih ke kehidupan yang lain.
Banyak diantara teman-teman alumni seangkatan yang mungkin merasa malu dengan perguruan mereka. karena apa ?... aku pun tak tau. Malu atau tidak malu, haruslah di terima bahwa itu semua adalah bagian dari sejarah kisah masa lalu. Apakah sejarah masa lalu yang sudah terlewati dapat kita rubah ?... Tidak sama sekali.. Dimana kita berada hari ini, akibat kemarin kita ada di sana. Kita dapat saling mengenal, berjumpa dan merindukan, karena kita sama-sama pernah berada di sana.(nek neng fesbuk do malsu skolah SMA  hihihihii ...)

Rendah hati, tapi bukan rendah diri, itulah ajaran Tamansiswa.Masihkah ingat pelajaran itu ?.... Mawas diri ?.... Integrita pribadi ?.... Bu Rais ?....Budi Pekerti & Ketamansiswaan ?....(po iseh do apal toh ?..hihihihihi ..)
Ketika masih di dalam perguruan, mungkin kita tidak menyadari ajaran Tamansiswa dengan serius. Namun setelah lepas dari sana aku pribadai sangat mengakui dan menyadari bahwa kehebatan ajaran Tamansiswa sangatlah berguna untuk saat ini. Hingga semua ajaran-ajaran Tamansiswa tulisan pak Sugeng Subagya, mantan kepala sekolahku dulu, aku obrak-abrik, aku salin semua dalam catatan ini.Ya... untuk menuju selangkah lebih maju. (wong getun tibo mburi)
Kini aku hanya mengenang apa yang dulu bisa ku kenang, mengenang kebersamaanku bersama teman-temanku, bercanda dengan penjual-di kantin, Menggoda dan jahil pada pak satpam,Khamijo, dan mengenang pesan-pesan bijak serta nasehat bijak para bapak ibu pamong.Sekarang aku mengakui bahwa dulu aku sering menertawakan pak Basuki (Bahasa Inggris) di kelas namun, mungkin setelah habis jam pelajaran, pak Basuki tersenyum pada semua murid di kelas.


 
Sesuai kata orang bijak yang pernah ku dengar, "Siapa yang tertawa paling ahir, dialah yang menang". Ya... inilah kekalahanku, kalah telak !.... Bahasa Inggris yang dulu di berikan secara ikhlas oleh beliau, tidak aku terima dengan sungguh-sungguh. Mentahpun tidak, matang pun jua tidak, bahasa Inggris yang kemampo! ...
( kelingan dusoku ra pak basuki.)
   Biso-o rumongso, ojo rumongso biso

Yang jelas, ajaran Tamansiswa sangat berarti, berguna, bermanfaat dan terbukti ke ampuhannya dalam menggapai selangkah lebih maju yang jitu. Sekarang aku sudah berkeluarga dan memiliki 2 putra, sudah menjadi ING NGARSA SUNG TULODHO bagi keluargaku tercinta.Karena kelak, aku ingin di kenang baik dan indah oleh anak-anakku, seperti aku mengenang baik dan indah pula pada alm. papa ku tercinta.Amiin .....

Di tengah-tengah hidup berkeluarga dan kemasyarakatan pula ING MADYA MANGUNKARSA di perlukan untuk membangun keluarga sakinah, mawadah waromah dan memajukan tempat tinggalku, agar suasana menjadi nyaman, tenteram , aman dan terkendali. Amiin.....

Yang terahir , TUT WURI HANDAYANI , semoga para adik-adik kelas / adik-adik alumni TMIP, Tamansiswa Yogyakarta tercinta dapat meraih lagi jaman keemasan seperti waktu  ku dulu. Jangan menunda apa yang bisa di kerjakan hari ini, waktu terus berputar dan berganti. Kesempatan tidak akan datang pada orang yang malas. Seorang manusia tidak akan sanggup mengalami seluruh/segala macam kesalahan di muka bumi ini karena, terbentur usia . Satu bukti kesalahan yang sudah dialami seseorang adalah cukup di jadikan contoh. Ambil apa yang bermanfaat dan tinggalkan serta buang yang tidak bermanfaat. Niteni, Nirokake, Nambahi seperti yang sudah di ajarkan Ki Hajar Dewantara di Tamansiswa.

Majulah terus perguruanku. Terima kasih atas segala macam bentuk perjuangan bapak-ibu pamong yang saya sayangi, saya pribadi atas nama, Ali Hasan Efendi mohon maaf yang sedalam-dalamnya atas dosa, salah dan khilaf yang disengaja maupun tidak. Semoga menginspirasi.......
Viva TMIP, Tamansiswa Yogyakarta.

http://a-lee-tutorial.blogspot.com/
/http://resepmasakan-alee.blogspot.com/
http://kohleedjocdja.wordpress.com/
/http://mistericulture.blogspot.com/
http://hukumperaturan.blogspot.com/
http://alumnitmipyogyakarta1997-2000.blogspot.com/


Salam.....

Minggu, 21 Februari 2010


Sistem Among dan Sistem Pendidikan Nasional
Oleh : Ki Sugeng Subagya



Ki Hadjar Dewantara, peletak dasar-dasar sistem pendidikan nasional, mendirikan perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Perguruan Tamansiswa adalah perguruan nasional yang dibangun dalam kerangka mewujudkan sebuah sistem pendidikan nasional.

Sistem pendidikan nasional itulah yang disebut sebagai Sistem Among. Bagaimana implementasi Sistem Among dalam sistem pendidikan nasional kita dewasa ini ? Itulah salah satu masalah mendasar pendidikan nasional kita dewasa ini.

Konsepsi Sistem Among
Sistem Among adalah sistem yang menjadi dasar dan identitas pendidikan di Tamansiswa. Kehadirannya dimaksudkan sebagai perlawanan atas sistem pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan Barat didasari oleh regering, tucht and orde, atau perintah, hukuman dan ketertiban atau paksaan. Dalam praktinya, pendidikan yang demikian akan merusak kehidupan batin anak-anak. Budi pekertinya rusak karena hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang seringkali tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Jika kelak dewasa, anak-anak yang telah rusak batinnya tidak dapat bekerja tanpa diperintah dan dipaksa. Demikian penegasan Ki Hadjar Dewantara.

Sistem Among tidak memakai syarat paksaan. Tegasnya, bukan pendidikan dengan cara regering, tucht and orde yang menjadi dasarnya, melainkan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Memaksa dalam pendidikan harus ditinggalkan, meskipun sekadar memimpin sejauh mungkin dihindari. Mencampuri kehidupan anak diperbolehkan ketika anak ternyata sudah berada di jalan yang salah. Dengan demikian kelangsungan kehidupan batin anak selalu terjaga. Meskipun demikian, kemerdekaan atas pilihan jalan yang ditempuh anak tidak dibiarkan sedemikian rupa sehingga nampak sebagai “nguja” atau membiar-liarkan. Pendidik tidak boleh “meleng” melakukan pengawasan.

Sebagai illustrasi dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika anak belajar memanjat pohon, tidak pada tempatnya dicegah. Kekhawatiran yang terungkap sebagai nanti jatuh, nanti sakit, nanti celaka, dan sebagainya, sesungguhnya adalah bentuk pelarangan dan paksaan. Cara yang demikian menyebabkan anak akan selalu merasa bersalah ketika akan belajar memanjat pohon. Akibatnya, sampai kapanpun anak tidak akan dapat memanjat. Biarkan anak-anak belajar memanjat sesuai dengan kehendaknya. Hanya ketika memanjat sudah sampai pada dahan atau ranting yang nyata-nyata membahayakan, baru peran pendidik dibutuhkan untuk memberikan alasan logis mengapa tidak boleh memanjat dahan atau ranting yang kecil.

Implementasi Dalam Pembelajaran
Dalam pembelajaran, Sistem Among dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan alam dan zaman. Sesungguhnya pemberlakukan KTSP, dimana setiap satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulumnya sendiri dan setiap guru dapat mengembangkan silabus dan rencana pembelajarannya merupakan peluang untuk terimplementasikannya Sistem Among dalam pembelajaran.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk itu. Misalnya, memberikan pelayanan pada kecenderungan anak agar tumbuh secara maksimal tanpa adanya perasaan takut dan tertekan. Mengutamakan personal aproach atau pendekatan individual dalam pembelajaran dengan memperhatikan kodratnya anak. Membuka peluang tumbuhnya inisiatif serta kemampuan anak untuk berbuat sesuatu. Apabila hendak “menghukum anak”, hendaknya dipikir masak-masak. Apakah hal itu akan menguntungkan anak atau sebaliknya ? Apakah dengan hukuman tidak berdampak menjauhkan hubungan antara guru dengan murid ? Apabila terpaksa harus menghukum, maka hendaknya tetap didasarkan pada rasa cinta dan dengan iktikad demi keselamatan anak itu sendiri. Hukuman bukan didasari oleh dendam atau untuk membuat jera (ngapokke), tetapi hukuman harus difahami untuk menunjukkan buahnya perbuatan. Hukuman adalah sebuah pembelajaran untuk konsekuen dan bertanggungjawab.

Untuk mengimplementasikan Sistem Among dalam pembelajaran, hendaknya diperhatikan substansinya. Hemat penulis, sedikitnya ada lima substansi dalam Sistem Among, ialah (1) sistem among adalah perwujudan dari sikap laku yang dijiwai oleh azas kekeluargaan, kemerdekaan dan pengabdian dengan mengingat kodrat iradatnya anak didik. (2) Sistem among membangkitkan jiwa merdeka dan rasa tanggungjawab dengan menjalin hubungan batin antara pendidik dan peserta didik atas dasar saling menghargai. (3) Sistem among menumbuhkan dan membuka kesempatan bagi peserta didik dan pendidik untuk berkreasi dan berprestasi dalamrangka memayu hayuning salira, memayu hayuning bangsa dan memayu hayuning manungsa. (4) Sistem among menciptakan suasana gembira dalam belajar dan bekerja, sehingga pembelajaran menjadi menarik bagi peserta didik dan pendidik. (5) Sistem among merupakan kebulatan sikap dan perilaku yang tercermin dari tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung tuladha.

Dengan demikian, Sistem Among berpijak pada dua dasar, ialah kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sehingga dapat hidup merdeka, mandiri dan makarya. Sedangkan kodrat alam sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya menurut hukum evolusi.

Kini, ada hal yang sungguh memprihatinkan. Pendidikan nasional kita telah mulai berpaling dari Sistem Among. Perintah dan paksaan sebagai cara pendidikan yang ditentang oleh Sistem Among, di banyak satuan pendidikan malah ditumbuh suburkan. Ketimpangan sasaran pendidikan yang cenderung intelektualistis yang ditolak oleh Sistem Among, kini kokoh dengan angkuhnya membinasakan aspek pengembangan rasa dan karsa peserta didik. Kemandirian untuk berkarya bagi peserta didik telah terabaikan oleh selembar ijazah formal. Akibatnya, tamat sekolah, peserta didik tak mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya, apalagi orang lain, kecuali “klonthang-klanthung” menenteng map mencari pekerjaan untuk menjadi buruh pada orang lain.

Senyampang masih ada kesempatan, kembalikan roh sistem pendidikan nasional kita kepada dasar-dasarnya dengan sungguh-sungguh mengimplementasi Sistem Among. Dengan demikian pendidikan nasional kita pada saatnya benar-benar berakar kuat dari konsepsi yang digali dari kekayaan bangsa sendiri.

Kritik Presiden
Pada waktu membuka temu nasional atau ”National Summit” 2009 di Jakarta akhir Oktober lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan agar metode pembelajaran diubah untuk mendorong siswa berinovasi dan mengembangkan kreatifitas. Metodologi pembelajaran siswa di Indonesia rupanya menjadi perhatian kepala negara. Presiden mengkritik metode pendidikan nasional yang tidak mendorong siswa mengembangkan inovasi dan kreatifitas sehingga sulit memunculkan para wirausaha maju.

"Saya ingatkan Mendiknas, coba sejak TK, SD, SMP, SMA itu metodologinya jangan guru aktif siswa pasif, dan hanya sekadar mengejar ujian, rapor. Kalau itu yang dipilih maka anak-anak bersekolah tidak berkembang kreativitasnya, inovasi dan jiwa wirausahanya," Jiwa wirausaha penting harus dipupuk sejak kecil sehingga pendidikan nasional tidak hanya melahirkan para pencari kerja tetapi pencipta lapangan kerja.


Hemat saya, untuk merespon kritik presiden itu, yang paling tepat adalah kita kembali kepada Sistem Among. Tugas kita, wong Tamansiswa, adalah menggali konsepsi dan kemudian mengimplementasikannya dalam pembelajaran sebagai sebuah sistem pendidikan nasional yang “namansiswani”. Semoga.


Dimuat Majalah SISWA, Desember 2009

GIGIH MENGAKTUALISASI KONSEPSI KI HADJAR DEWANTARA :
Ki Sarmidi Mangoensarkoro
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA



Gagasan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa mengusulkan Gelar Pahlawan Nasional bagi Ki Sarmidi Mangoensarkoro mendapat dukungan banyak pihak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerbitkan rekomendasi atas usulan tersebut. Tentu usulan ini tidak dalam rangka memujadewakan seorang Sarmidi, tetapi lebih dari itu sebagai penghargaan atas pengabdian yang sepi pamrih rame ing gawe untuk tepa palupi bagi generasi penerusnya.

Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada seseorang warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Tindak kepahlawanan adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat.

Berjuang Sejak Belia
Sarmidi adalah anak Mangoensarkoro. Lahir di Surakarta tanggal 23 Mei 1904, wafat pada tanggal 8 Juni 1957 di Jakarta, dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Wijaya Brata Yogyakarta.

Meskipun anak seorang “ronggo” kepala desa, yang notabene dekat dengan kekuasaan, sikap dan kepribadiannya tetap nampak sederhana. Sikap memihak kepada rakyat dan kebangsaan ditempa terus menerus dalam kancah pergerakan dan perjuangan sejak muda belia. Usia kurang dari 20 tahun, sudah malang melintang dalam dunia pergerakan. Tak ayal, pada usia 22 tahun pada tahun 1926 ketika masih belajar di Sekolah Guru, sudah memimpin Jong Java Yogyakarta sebagai ketua. Setahun kemudian mendirikan “Pemuda Indonesia” Cabang Yogyakarta dan sekaligus menjadi anggota pengurus besar “Pemuda Indonesia”.

Dalam Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan “Soempah Pemoeda”, Sarmidi menyampaikan pidato tentang Pendidikan Nasional. Terdapat tiga gagasan inti dalam pidatonya tersebut, ialah (1) anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2) harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3) anak juga harus dididik secara demokratis.

Dalam dunia pendidikan, kiprah Sarmidi dimulai dari menjadi Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Salah satu gagasannya yang kental dengan semangat kebangsaan ialah memelopori gerakan kepanduan yang bebas dari pengaruh penjajahan.

Sebelum Indoensia merdeka, kancah perjuangan pendidikannya diaktualisasikan melalui Perguruan Tamansiswa. Pada tahun 1932, selama 8 tahun, menjadi Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, merangkap sebagai Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Salah satu andil besar yang sangat monumental bagi Tamansiswa adalah karyanya merumuskan “Panca Dharma” Tamansiswa dalam sebuah tim kecil. Saking besarnya peran Ki Sarmidi Mangoensarkoro, tim kecil ini diberi nama “Panitia Mangoensarkoro”. Panca Dharma Tamansiswa itulah yang sampai kini menjadi salah satu filosofi dasar Tamansiswa, di samping Azas Tamansiswa 1922.

Pada tahun 1949, Ki Sarmidi Mangoensarkono ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sebagai Menteri Pendidikan, Ki Sarmidi Mangoensarkoro membidani lahirnya Undang Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Seluruh Indonesia. Itulah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang pertama pasca proklamasi kemerdekaan.

Menurut catatan Departemen Pendidikan Nasional, jika hingga tahun 2009, Republik Indonesia telah mengalami 39 periode pergantian Menteri Pendidikan Nasional, maka 3 periode diantaranya dijabat oleh Ki Sarmidi Mangoensarkoro. Ialah periode ke 9, 11, dan 12 antara tahun 1949-1950. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya menjabat Menteri saat keadaan politik yang tidak stabil. Hanya mereka yang memiliki jiwa dan semangat pengabdian luar biasa kepada bangsa dan negaranya yang mampu melakukannya.

Dalam bidang politik, sosok Sarmidi sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan. Hal itu tampak dalam sikap M Natsir, tokoh Masyumi yang berseberangan dengannya. “... manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul: ”Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro”. (Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008).

Suri Tauladan
Sesungguhnya, sepenggal tulisan ini dipastikan tidak akan dapat menggambarkan sosok kepahlawanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro secara utuh. Namun demikian keteladanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro sebagai pejuang pengabdi masyarkat, bangsa, dan negara Indonesia tidak dapat disanggah. Ia adalah pejuang yang mengarungi berbagai lapangan kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Seluruh hidupnya, sejak muda belia sampai wafatnya, diabdikan untuk keluhuran bangsanya.

Satu hal perlu dicatat bahwa, sikap konsisten dan konsekuennya terhadap pilihan hidup yang diyakininya, tidak mengendorkan kedekatannya dengan kepentingan rakyat. Demikianlah maka, jabatan dan kekuasaan difahaminya sebatas sarana untuk mengabdi, dan bukan tujuan pengabdiannya. “Dalam negara Pancasila, maka pendidikan harus berdasar Pancasila. Atas dasar falsafah Pancasila, maka di semua sekolah wajib memberikan pendidikan agama yang di dasarkan pada imbangan pertumbuhan anak”. Itulah sebagian pemikirannya yang tampaknya takkan lapuk karena zaman, selama Pancasila masih menjadi ideologi bangsa Indonesia.


Artikel dimuat Majalah SISWA, Nopember 2009


Konsepsi Kebudayaan Ki Hadjar Dewantara
Oleh : Ki Sugeng Subagya


KETIKA kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari. Perebutan kekuasaan dengan saling sindir, hujat menghujat, dan bahkan memfitnah menjadi kebiasaan. Praktik pelanggaran hukum, menyalahgunakan wewenang, menilep harta yang bukan haknya, dan berselingkuh hampir tidak ada perasaan sungkan. Inilah potret masyarakat yang tidak beradab.

Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya menawarkan konsepsi-konsepsi kebudayaan menuju peradaban. Saatnya kita membuka kembali file-file konsepsi kebudayaan itu untuk direnungkan dan kemudian dipergunakan merekonstruksi kehidupan bermasyarakat dan berkebangsaan kita.
Tamansiswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas sebagai sara utamanya berdasarkan atas konsepsi Kebudayaan, Kebangsaan, Pendidikan, Sistem Kemasyarakatan, dan Sistem Ekonomi Kerakyatan. Intinya ialah, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta menghindari terjadinya kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam antarwarga negara.

Selama ini, orang sangat mengenal teori puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan. Maknanya, kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Kebudayaan nasional bukanlah sesuatu yang statis akan tetapi bergerak dinamis sesuai dengan irama kemajuan zaman. Dalam konsep ini seluruh kebudayaan daerah dihargai sebagai aset kebudayaan nasional; di sisi yang lain adanya kemajuan kebudayaan sangat dimungkinkan, baik kebudayaan nasional maupun daerah.

Selain teori puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan, ada banyak konsepsi kebudayaan yang dapat dijadikan paugeran membangun kebangsaan masyarakat Indonesia.

Konsepsi Trikon
Dalam pengembangan kebudayaan nasional, dikenal konsep Trikon, ialah kontinuitas, konvergensitas, dan konsentrisitas. Hendaknya bangsa ini mampu melestarikan budaya peninggalan para pendahulu dengan tetap memberikan ruang kepada budaya manca untuk saling berkolaborasi. Meski demikian dalam kolaborasi antara budaya kita dengan budaya manca tersebut hendaknya menghasilkan budaya baru yang lebih bermakna dengan cara selektif dan adaptatif.

Konsepsi Tripantangan
Dalam pengembangan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, dikembankan konsepsi tripantangan, ialah pantang untuk menyalah gunakan harta, wanita dan parja. Maksudnya, setiap warga bangsa tidak boleh menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misalnya korupsi), menyalahgunakan jabatan (misalnya kolusi), dan bermain wanita (misalnya menyeleweng atau perselingkuhan).

Konsepsi Trihayu
Dalam meneguhkan komitmen sebagai bangsa beradab dikembangkan konsep Trihayu, ialah memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayunin bawana. Apapun yang diperbuat oleh seseorang, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan bermanfaat bagi umat manusia di dunia pada umumnya. Perbuatan yang bermanfaat itulah jaminan terwujudnya kebahgiaan diri, bangsa dan umat manusia.

Konsepsi Trisakti Jiwa
Pengembangan manusia paripurna didasari oleh konsepsi Trisakti Jiwa, ialah cipta, rasa, dan karsa. Untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada harmoni antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Manusia yang paripurna ialah manusia yang mencapai harmoni keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara daya cipta, rasa dan karsanya. Cara mendidik harmoni keseimbangan, keselarasan dan keserasian daya cipta, rasa dan karsa dilakukan dengan asah, asih dan asuh. Jika salah satu daya dikembangkan lebih dominan dari yang lain maka akan didapat ketimbangan jiwa-raga. Bisa jadi orangnya pinter, tetapi tidak berperasaan dan kemauannya mlempem, atau sebaliknya.

Trilogi kepemimpinan
Bangsa yang beradab terdiri atas para pemimpin, ialah pemimpin diri sendiri dan orang lain. Untuk menjadi pemimpin di tingkat mana pun harus berpedoman kepada Trilogi Kepemimpinana, ialah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, serta tutwuri handayani. Seorang pemimpin ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan (contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong semangat yang dipimpinnya

Itulah konsepsi-konsepsi kebudayaan menuju peradaban Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya. Pada saatnya, konsepsi-konsepsi ini perlu direnungkan kembali untuk berkaca diri. Masihkah diantara anak bangsa ini ngerti, ngrasa dan nglakoni petuah luhur Ki Hadjar Dewantara itu ? Sebaiknya, jika memang bangsa Indonesia tetap bercita-cita mulia sebagai bangsa beradab yang kajen keringan di mata dunia, kita rujuk kembali piwulang luhur ini.



Artikel dimuat Majalah SISWA, Oktober 2009

KI HADJAR DEWANTARA :
Menebar Benih Jiwa Merdeka
Oleh : Ki Sugeng Subagya


Menumbuhkan dan mengembangkan jiwa merdeka. Itulah tujuan yang ingin dicapai oleh Perkumpulan Selasa Kliwonan. Jiwa merdeka adalah prasyarat untuk tercapainya kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, dan kini telah 64 tahun, masihkah diperlukan upaya menumbuhkan dan mengembangkan jiwa merdeka itu ?

Perkumpulan Selasa Kliwonan
Berdiri pada tahun 1921. Bukan merupakan lembaga atau organisasi formal. Perkumpulan ini tidak lebih sebatas forum diskusi kaum cendekiawan dan budayawan pada masa itu. Mereka sangat peduli terhadap nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Kepeduliannya jauh sampai kepada rasa keprihatinan. Hidup dalam kekuasaan penjajahan lebih dari 3 abad, rakyat tetap miskin, bodoh, dan terbelakang. Tatkala bangsa di belahan dunia yang lain hidup dalam kemakmuran, bangsa Indonesia yang tercengkeram dalam kuku penjajahan masih dalam penderitaan.

Perkumpulan Selasa Kliwonan yang diketuai oleh Ki Ageng Suryomentaram dan Soewardi Suryaningrat sebagai sekretaris itu, terdiri dari 9 orang. Ialah, Ki Ageng Suryomentaram, RM Soetatmo Soeryokusumo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, BRM Subono, Ki Ageng Surjo Putro, Soewardi Suryaningrat, Ki Sutopo Wonobojo, dan RM Gondoatmodjo.
Keprihatinan yang mendalam atas nasib bangsa dalam penderitaan, mau tidak mau perkumpulan ini harus bersinggungan dengan ranah politik. Artinya, agar rakyat tidak selalu dalam penderitaan, maka penjajah harus dienyahkan dan rakyat harus dimerdekakan. Kolonialisme sebagai praktik politik, harus dilawan dengan praktik politik pula. Kolonialisme sebagai gagasan, maka harus dilawan dengan gagasan pula. Demikian pula ketika pendidikan dijadikan alat politik kolonialisme maka harus pula dilawan dengan mempergunakan pendidikan sebagai alat politik. Oleh sebab itu rakyat harus cerdas. Rakyat harus diberikan pencerahan untuk membuka wawasannya. Bagaimanapun kemerdekaan adalah pintu gerbang lepas dari penderitaan.

Demikianlah, perkumpulan Selasa Kliwonan kemudian sepakat, pentingnya menanamkan jiwa merdeka bagi setiap anak bangsa Indonesia. Satu-satunya cara untuk menanamkan jiwa merdeka itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan. Baik itu pendidikan formal, in-formal, maupun non-formal.

Sepakatlah perkumpulan Selasa Kliwonan menanamkan jiwa merdeka pada setiap diri anak bangsa melalui pendidikan. Ditugaskanlah Ki Ageng Suryomentaram mendidik orang dewasa dalamrangka menanamkan jiwa merdeka. Dan Soewardi Suryaningrat mendidik anak-anak. Ki Ageng Suryomentaram kemudian mengembangkan ilmu jiwa Kawruh Begja, yang kemudian berkembang menjadi Kawruh Jiwa. Dan Soewardi Suryaningrat mendirikan Perguruan Tamansiswa sebagai sebuah lembaga pendidikan.
Perkumpulan Selasa Kliwonan, sesungguhnya memiliki tujuan lebih dari sekadar tercapainya Indonesia merdeka. Indoensia merdeka adalah tujuan antara untuk hamemayu hayuning bawana, hamemayu hayuning bangsa, dan hamemayu hayuning salira, yang kemudian dikenal sebagai TRI-HAYU. Ialah, tercapainya kebahagiaan alam semesta, kebahagiaan bangsa dan kebahagiaan diri. Tri-hayu akan dapat dicapai apabila setiap diri manusia memiliki jiwa merdeka.

Makna Merdeka
Setidaknya, dengan mencermati uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa meskipun kemerdekaan bangsa Indonesia sudah berhasil diproklamasikan, tetapi upaya menanamkan dan menumbuh-kembangkan jiwa merdeka tetap harus dilakukan. Mengingat bahwa Tri-hayu masih harus terus diupayakan tercapainya.

Tri-hayu setidaknya mengajarkan kepada kita, bahwa kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju kebahagiaan bukan semata-mata kebahagiaan pribadi. Tetapi kebahagiaan pribadi harus mengingati kebahagiaan bangsa. Kebahagiaan bangsa harus mengingati kebahagiaan alam semesta. Dengan demikian tidak akan ada kebahagiaan pribadi tanpa ada kebahagiaan bangsa dan alam semesta. Membangun kebahagiaan pribadi harus dimaknai sekaligus membangun kebahagiaan bangsa dan kebahagiaan alam semesta.

Secara analogis, demikian halnya tentang kemerdekaan. Kemerdekaan itu bukan semata-mata kemerdekaan pribadi, tetapi harus berada dalam proporsi kemerdekaan bangsa dan kemerdekaan umat manusia. Karenanya, kemerdekaan sesungguhnya bukan kemerdekaan yang tidak tak terbatas. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaannya orang lain. Kemerdekaan suatu bangsa dibatasi pula oleh kemerdekaannya bangsa lain. Oleh karena itu kemerdekaan itu sifatnya universal, milik setiap orang dan milik setiap bangsa.

Jika orang akan mengaktualisasikan kemerdekaan dirinya, maka ingatilah kemerdekaan orang lain. Jika suatu bangsa akan mengaktualisasikan kemerdekaannya maka ingatilah kemerdekaan bangsa lain. Kita, adalah individu-individu yang tidak dipisahkan oleh kehendak merdeka itu, tetapi hakikatnya kita disatukan oleh alam semesta untuk mengaktualisasikan kemerdekaan itu secara bersama-sama untuk kebahagiaan bersama.

Jika ada orang yang masih merasa tertekan oleh orang lain. Jika ada orang masih memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Jika masih ada orang yang takabur dan sombong ketika sukses. Jika masih ada orang tertawa senang atas penderitaan orang lain. Dan jika masih ada orang yang irihati atas kesuksesan orang lain. Maka itulah sesungguhnya ciri-ciri orang yang belum tumbuh dan berkembang jiwa merdekanya.

Belajar dari Ki Hadjar Dewantara
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, disambut riang gembira oleh seluruh rakyat Indonesia. Saat yang diimpi-impikan berabad-abad telah tercapai. Tidak kurang Ki Hadjar Dewantara mewartakan kemerdekaan Indonesia itu. Di Yogyakarta, dengan naik sepeda, Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara keliling kota memberitahukan kepada rakyat bahwa Indonesia telah merdeka.

Proklamasi kemerdekaan ternyata bukan titik akhir dari perjuangan panjang. Tetapi sesungguhnya malah merupakan titik tolak awal untuk tercapainya kemerdekaan hakiki. Untuk itu tugas berat telah menghadang di depan mata. Bagi Ki Hadjar Dewantara, tugas berat itu adalah saat ditunjuk sebagai Menter Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Tugas berat itu ialah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional. Berabad-abad sistem pendidikan Indonesia diporak-porandakan oleh kolonialisme. Sungguh tugas yang tidak ringan membangun kembali sebuah sistem pendidikan nasional yang tinggal puing-puing.

Tugas berat itulah yang sukses dipikul oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam waktu yang sangat singkat, sistem pendidikan nasional telah tergambar jelas kerangkanya, ialah kembali kepada jati diri bangsa Indonesia. Pendidikan nasional dibangun atas kerangka universalitas tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.


Artikel dimuat Majalah SISWA, Agustus 2009

KI HADJAR DEWANTARA :
Mendirikan dan Memimpin
Perguruan Nasional Tamansiswa

Oleh : Ki Sugeng Subagya




Cita-cita diraih dengan daya upaya. Adakalanya daya upaya harus ditempuh dengan menggunakan sarana. Belajar giat penuh semangat adalah daya upaya untuk mencapai cita-cita sukses di masa depan. Untuk dapat belajar giat diperlukan sarana belajar, misalnya buku, suasana yang kondusif, bimbingan, dan sebagainya.

Merdeka, yang dicita-citakan bangsa Indonesia memerlukan daya upaya untuk mewujudkannya. Untuk itu harus disediakan banyak sarana untuk melakukan daya upaya mencapai Indoensia merdeka. Ki Hadjar Dewantara, memilih pendidikan sebagai sarana daya upaya mencapai Indoensia merdeka. Oleh karena itu didirikanlah Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922.

Belajar dari Sejarah
Apabila kita menengok sejarah ke belakang, pada tahun 1921 masa sebelum berdirinya Perguruan Nasional Tamansiswa, saat itu berkumpullah kaum terpelajar kita dari berbagai latar belakang keahlian, baik dari bidang politik, kebudayaan, pendidikan, kesenian, kemasyarakatan dan religi dalam suatu wadah paguyuban “Selasa Kliwonan”. Komunitas ini ada karena mereka tertarik oleh kesengsaraan rakyat Indonesia akibat penjajahan. Oleh sebab itu tujuan dari paguyuban ini kemudian dirumuskan sebagai memayu hayuning sarira (kebahagiaan pribadi), memayu hayuning bangsa (kebahagiaan bangsa), dan memayu hayuning manungsa (kebahagiaan umat manusia).

Tujuan tersebut tidak mungkin dapat dicapai apabila masyarakat dan bangsa kita tetap dalam keadaan tidak merdeka. Kemerdekaan tidak akan ada apabila dalam setiap diri warga masyarakat dan bangsa tidak tumbuh jiwa merdeka. Untuk dapat menumbuhkan jiwa merdeka maka warga masyarakat dan bangsa harus dididik. Oleh sebab itu maka perkumpulan ini menugaskan kepada Soewardi Surjaningrat, yang kemudian menjadi Ki Hadjar Dewantara, untuk mendidik menanamkan jiwa merdeka bagi anak-anak. Sedangkan Ki Ageng Suryomentaram ditugasi untuk mendidik menanamkan jiwa merdeka bagi orang dewasa. Demikianlah maka Ki Hadjar Dewantara kemudian mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa sebagai sarana mendidik anak-anak, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram mengembangkan “Kawruh Begja”, yang kemudian menjadi “Kawruh Jiwa” sebagai sarana mendidik orang dewasa.

87 Tahun Tamansiswa
Kini, setelah 87 tahun Tamansiswa berdiri dan cita-cita Indonesia merdeka telah terwujud, masih adakah peran Tamansiswa dibutuhkan ? Demikianlah banyak pertanyaan dimunculkan oleh berbagai pihak, tidak kurang dari keluarga besar Tamansiswa sendiri. Dengan kata lain, masihkah diperlukan kehadiran Tamansiswa pada saat kemerdekaan bangsa sudah dalam genggaman ?

Pertanyaan di atas dibangun dengan cara memperbandingkan untuk menakar peran Tamansiswa di masa lalu dan kini. Ketika awal lahirnya sampai dicapainya kemerdekaan bangsa Indonesia, Tamansiswa memiliki peran yang gegap gempita. Sedangkan setelah kemerdekaan, peran itu mulai meredup dan bahkan akhir-akhir ini cenderung tidak tampak dipermukaan.

Pada zaman penjajahan Belanda, perlawanan Tamansiswa terhadap onderwijs-ordonantie 1932 (peraturan sekolah liar), kinder-toelage (tunjangan anak), loon-belasting (pajak upah), dan sebagainya sungguh mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat. Pemerintah kolonial “keder” menghadapi perlawanan Tamansiswa yang didukung banyak pihak yang tidak hanya menyatakan persetujuannya, tetapi mereka bersama-sama Tamansiswa merapatkan barisan melakukan perlawanan.

Pada zaman penjajahan Jepang yang sangat represif, perlawanan Tamansiswa terhadap ditutupnya sekolah swasta dilakukan dengan cara “ngenthung” atau melalui gerakan bawah tanah. Meskipun secara formal Tamansiswa tidak menyelenggarakan persekolahan, tetapi pendidikan non-formal “Taman Tani” secara sembunyi-sembunyi tetap memberikan pelajaran kebangsaan, sejarah dan geografi Indonesia dalam rangka menumbuhkan jiwa merdeka.

Demikianlah, pemerintah kolonial menggunakan pendidikan sebagai alat politik kolonial. Oleh karena itu Ki Hadjar Dewantara menggunakan pendidikan pula sebagai alat perjuangannya. Dibangunlah sistem pendidikan nasional yang dimulai dengan mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa. Jika pendidikan kolonial bertujuan untuk memperkuat cengkeraman kuku penjajahannya, maka pendidikan nasional bertujuan untuk melepaskan diri dari cengkeraman kuku penjahan. Dilihat dari tujuannya, keduanya berada dalam dua kutub yang bertolak belakang dan tidak mungkin dikompromikan.

Menurut Ki Suratman, Tamansiswa pada zaman penjajahan bersikap konfrontatif dan non-kooperatif. Oleh karena itu peran Tamansiswa pada zaman penjajahan tampak “gegap gempita”. Di samping mudah dikenali siapa lawan dan siapa kawan, komitmen yang tinggi untuk tercapainya Indonesia merdeka bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia adalah dukungan yang luar biasa.

Situasi dan kondisi berubah saat kemerdekaan telah dalam genggaman bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia adalah pemerintah bangsa sendiri. Oleh karena itu Tamansiswa “melu handarbeni” negara dan pemerintah Republik Indonesia. Strategi perjuangan konfrontatif dan non-kooperatif harus ditinggalkan, dipakailah strategi kooperatif, konsultatif dan korektif.

Jelaslah, terhadap negara dan pemerintah Republik Indonesia yang Tamansiswa turut serta merebut, mempertahankan dan menegakkan kemerdekaannya, Tamansiswa tidak akan bersikap konfrontatif dan non-kooperatif. Tamansiswa bekerjasama (kooperatif dan konsultatif) terhadap pemerintah Republik Indonesia. Tidak menutup kemungkinan dalam bekerjasama itu terdapat perbedaan pandangan, pendapat dan sikap. Untuk itulah sikap korektif perlu dikedepankan.

Dengan strategi “TRI-KO”, ialah kooperatif, konsultatif dan korektif, dewasa ini peran dan eksistensi Tamansiswa tetap diperlukan. Upaya perluasan kesempatan dan pemerataan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah, Tamansiswa perlu meresponnya dengan positif dalam bentuk kooperatif. Kebijakan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan yang berkeadilan, Tamansiswa dapat mengambil perannya secara konsultatif. Demikian pula, ketika pendidikan nasional sebagai sebuah sistem mulai diingkari, sehingga dalam beberapa kebijakan pendidikan nampak terkesan diatur oleh pihak asing, misalnya pemberlakukan Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan, diundangkannya UU BHP, dll. maka Tamansiswa harus melakukan koreksi.

Untuk mengimplementasi “TRI-KO”, di kalangan Tamansiswa sendiri bukan tidak mungkin mengalami kendala internal. Kendala utama yang dihadapi adalah kualitas sumber daya manusianya. Hal ini terkait dengan kaderisasi. Artinya sangat sedikit kader Tamansiswa yang memiliki kemampuan (bevoegdheid) dan sekaligus kewenangan (bekwaamheid) untuk mengembangkan diri dan lembaganya dalam rangka meningkatkan peran dan eksistensi Tamansiswa. Sebenarnya banyak kader Tamansiswa yang bagus, akan tetapi ketika masih produktif memilih berkarya di luar dan setelah kurang produktif baru ingin berkiprah di Tamansiswa.


Artikel dimuat Majalah SISWA, Juli 2009

KI HADJAR DEWANTARA :
Pengasingan dan Penjara Wahana Perjuangan
Oleh : Ki Sugeng Subagya



Umumnya, penjara adalah tempat untuk membuat jera. Demikian halnya “pengasingan” ditujukan agar yang bersangkutan tidak dapat berhubungan dengan komunitasnya, sehingga apa yang menjadi tujuannya tidak dapat dicapai. Sebagai seorang patriot sejati, asumsi penjara seperti di atas, bagi Ki Hadjar Dewantara tiada berlaku. Dari balik penjara dan dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap berjuang.

Hukuman pengasingan Soewardi dipergunakan hari-harinya untuk tetap mengobarkan perjuangan. Meskipun sesungguhnya, hukuman Soewardi dalam pembuangan berakhir tahun 1917. tetapi karena Perang Dunia I berkecamuk, maka baru tahun 1919, tepatnya 6 September Soewardi tiba di Bandung. Ada hikmah di balik itu. Beberapa hal dapat dicatat, diantaranya adalah; (1) Peringatan hari lahir Boedi Oetomo ke-10 diperingati untuk pertama kalinya di Nederland. Soewardi memimpin pertunjukan dalam peringatan itu. (2) Bulan September 1918, Soewardi mendirikan kantor berita dengan nama Indonesich Persburean. Sejak itulah nama Indonesia dipergunakan oleh surat kabar di negeri Belanda.(3) Pada tahun 1916, Soewardi mengerjakan penggubahan tembang Kinanthi Sandhung karya Sri Mangkunegara IV dalam notasi piano. Tembang itu dipergelarkan pertama kali di Den Haag pada 30 Agustus 1916, dinyanyikan oleh N Roelofswaard dengan iringan piano C Kleute. Keduanya adalah mahasiswi Koninklyke Conservatorium.

Sesampai di tanah air Soewardi menetap di Semarang. Disamping menjadi pengurus partai politik, juga memimpin majalah De Beweging, Persatuan Hindia, De Expres, dan Penggungah. Disebabkan oleh tulisan-tulisannya yang tajam dan pedas, Soewardi terkena delik pers. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Semarang, dan kemudian dipindahkan ke Pekalongan,

Keluar dari penjara Soewardi menetap di Yogyakarta. Bersama dengan paguyuban Selasa Kliwonan mendiskusikan banyak hal untuk tercapainya Indonesia merdeka. Untuk mencapai Indonesia merdeka mustahil jika didalam diri setiap bangsa Indoensia tidak tertanam jiwa merdeka. Hanya dengan pendidikan maka jiwa merdeka dapat ditanamkan. Oleh sebab itu paguyuban Selasa Kliwonan menugaskan kepada Ki Ageng Suryamentaram untuk mendidik jiwa merdeka orang dewasa, sedang Soewardi ditugasi menggarap jiwa merdeka anak-anak. Untuk itulah kemudian Ki Ageng Suryomentaram mengembangkan psikologi orang dewasa “kawruh begja” untuk menggarap jiwa orang dewasa, dan Soewardi mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa untuk menggarap jiwa anak-anak.

Saat Soewardi genap berusia 5 windu atau 40 tahun menurut perhitungan tahun Jawa berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pergantian nama ini dimaknai sebagai “tengara” perubahan dari satriya pinandhita, ksatria yang berjiwa pendeta atau guru menjadi pandhita sinatriya, ialah pendeta atau guru yang juga bersedia mengangkat senjata untuk berjuang membela bangsa dan tanah airnya.

Pasang surut perjuangan menuju Indonesia merdeka dilalui dengan suka duka. Banyak tantangan, hambatan dan gangguan harus dihadapi. Tetapi perjuangan itu sampailah pada puncaknya saat diproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan dan pengajaran. Kemudian diangkat menjadi anggota DPR-RI tetapi pada tahun 1954 mengundurkan diri. Sejak itulah sepenuh tenaga, waktu dan pikiran Ki Hadjar Dewantara dicurahkan untuk Tamansiswa.

Ki Hadjar Dewantara wafat dalam usia 70 tahun. Dimakamkan di Taman Wijayabrata Yogyakarta dengan upacara militer kenegaraan dan diangkat sebagai perwira tinggi. Bukan harta benda melimpah yang ditinggalkan. Butir-butir mutiara ajaran hidup dan spirit perjuangan kemanusiaan untuk kesejahteraan bangsa dan negaranya adalah warisan yang tidak ternilai harganya. Ki Hadjar Dewantara adalah pahlawan sejati yang tidak pernah mempromosikan dirinya. Gelar bangsawanya tidak dilekatkan pada namanya. Gelar akademik tertinggi dari Universitas Gadjah Mada juga tidak dilekatkan pada namanya. Itu semua dianggap tidak bermanfaat apabila dapat menghalangi kedekatannya dengan rakyat.

Perguruan nasional yang didirikannya tidak diberi nama “Dewantara Instituut”, tetapi diberi nama Tamansiswa. Metode menyanyi Jawa yang diciptakannya tidak diberi nama metode “Dewantara”, tetapi metode Sari Swara. Hal ini karena beliu tidak mau dipujadewakan atau dikultus-individukan.

Karena jasa-jasanya yang luar biasa terhadap nusa dan bangsanya, penghormatan dan penghargaan diterimanya bukan karena diminta. Diantaranya adalah; (1) sehari sebelum upacara pemakan, diangkat secara anumerta sebagai Ketua Kehormatan PWI atas jasanya dalam dua jurnalistik. (2) Diangkat sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 1959. (3) Melalui keputusan presiden nomor 316, tanggal lahirnya ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional. (4) Dianugerahi Bintang Mahaputera Kelas I, dan sebagainya.

Hikmah
Dari nukilan sejarah ini kita dapat memetik hikmah bahwa memimpin itu bukan untuk berkuasa, tetapi untuk mengabdi. Mengabdi itu didasari oleh spirit sepi ing pamrih rame ing gawe. Jika kemudian ada kehormatan dan penghargaan yang diterima, itu bukan karena diminta, tetapi karena buahnya perbuatan. Untuk memimpin harus dimulai dari labuh labet. Untuk menjadi orang besar yang dikenang prestasinya meski sudah meninggal dunia, tidak dapat dilakukan dengan cara menerabas.

Bandingkan dengan keadaan sekarang. Masuk penjara terlebih dahulu baru kemudian menjadi pemimpin bangsa. Atau menjadi pemimpin bangsa terlebih dahulu baru kemudian masuk penjara karena kasus korupsi kolusi dan nepotisme atau kriminal. Keduanya saling bertolak belakang, yang pertama sangat mulia dan yang kedua sangat hina. Tidak kurang teladan buruk para pemimpin kita, durung pecus kesusu besus. Semua itu karena ambisi pribadi dalam rangka berkuasa dengan cara ancik-ancik bangkene liyan. ''Na'udubillahi mindzalik''
Dimuat Majalah SISWA Juni 2009.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons