GIGIH MENGAKTUALISASI KONSEPSI KI HADJAR DEWANTARA :
Ki Sarmidi Mangoensarkoro
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA
Ki Sarmidi Mangoensarkoro
Oleh : Ki SUGENG SUBAGYA
Gagasan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa mengusulkan Gelar Pahlawan Nasional bagi Ki Sarmidi Mangoensarkoro mendapat dukungan banyak pihak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerbitkan rekomendasi atas usulan tersebut. Tentu usulan ini tidak dalam rangka memujadewakan seorang Sarmidi, tetapi lebih dari itu sebagai penghargaan atas pengabdian yang sepi pamrih rame ing gawe untuk tepa palupi bagi generasi penerusnya.
Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada seseorang warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Tindak kepahlawanan adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat.
Berjuang Sejak Belia
Sarmidi adalah anak Mangoensarkoro. Lahir di Surakarta tanggal 23 Mei 1904, wafat pada tanggal 8 Juni 1957 di Jakarta, dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Wijaya Brata Yogyakarta.
Meskipun anak seorang “ronggo” kepala desa, yang notabene dekat dengan kekuasaan, sikap dan kepribadiannya tetap nampak sederhana. Sikap memihak kepada rakyat dan kebangsaan ditempa terus menerus dalam kancah pergerakan dan perjuangan sejak muda belia. Usia kurang dari 20 tahun, sudah malang melintang dalam dunia pergerakan. Tak ayal, pada usia 22 tahun pada tahun 1926 ketika masih belajar di Sekolah Guru, sudah memimpin Jong Java Yogyakarta sebagai ketua. Setahun kemudian mendirikan “Pemuda Indonesia” Cabang Yogyakarta dan sekaligus menjadi anggota pengurus besar “Pemuda Indonesia”.
Dalam Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan “Soempah Pemoeda”, Sarmidi menyampaikan pidato tentang Pendidikan Nasional. Terdapat tiga gagasan inti dalam pidatonya tersebut, ialah (1) anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2) harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3) anak juga harus dididik secara demokratis.
Dalam dunia pendidikan, kiprah Sarmidi dimulai dari menjadi Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Salah satu gagasannya yang kental dengan semangat kebangsaan ialah memelopori gerakan kepanduan yang bebas dari pengaruh penjajahan.
Sebelum Indoensia merdeka, kancah perjuangan pendidikannya diaktualisasikan melalui Perguruan Tamansiswa. Pada tahun 1932, selama 8 tahun, menjadi Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, merangkap sebagai Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Salah satu andil besar yang sangat monumental bagi Tamansiswa adalah karyanya merumuskan “Panca Dharma” Tamansiswa dalam sebuah tim kecil. Saking besarnya peran Ki Sarmidi Mangoensarkoro, tim kecil ini diberi nama “Panitia Mangoensarkoro”. Panca Dharma Tamansiswa itulah yang sampai kini menjadi salah satu filosofi dasar Tamansiswa, di samping Azas Tamansiswa 1922.
Pada tahun 1949, Ki Sarmidi Mangoensarkono ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sebagai Menteri Pendidikan, Ki Sarmidi Mangoensarkoro membidani lahirnya Undang Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Seluruh Indonesia. Itulah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang pertama pasca proklamasi kemerdekaan.
Menurut catatan Departemen Pendidikan Nasional, jika hingga tahun 2009, Republik Indonesia telah mengalami 39 periode pergantian Menteri Pendidikan Nasional, maka 3 periode diantaranya dijabat oleh Ki Sarmidi Mangoensarkoro. Ialah periode ke 9, 11, dan 12 antara tahun 1949-1950. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya menjabat Menteri saat keadaan politik yang tidak stabil. Hanya mereka yang memiliki jiwa dan semangat pengabdian luar biasa kepada bangsa dan negaranya yang mampu melakukannya.
Dalam bidang politik, sosok Sarmidi sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan. Hal itu tampak dalam sikap M Natsir, tokoh Masyumi yang berseberangan dengannya. “... manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul: ”Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro”. (Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008).
Suri Tauladan
Sesungguhnya, sepenggal tulisan ini dipastikan tidak akan dapat menggambarkan sosok kepahlawanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro secara utuh. Namun demikian keteladanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro sebagai pejuang pengabdi masyarkat, bangsa, dan negara Indonesia tidak dapat disanggah. Ia adalah pejuang yang mengarungi berbagai lapangan kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Seluruh hidupnya, sejak muda belia sampai wafatnya, diabdikan untuk keluhuran bangsanya.
Satu hal perlu dicatat bahwa, sikap konsisten dan konsekuennya terhadap pilihan hidup yang diyakininya, tidak mengendorkan kedekatannya dengan kepentingan rakyat. Demikianlah maka, jabatan dan kekuasaan difahaminya sebatas sarana untuk mengabdi, dan bukan tujuan pengabdiannya. “Dalam negara Pancasila, maka pendidikan harus berdasar Pancasila. Atas dasar falsafah Pancasila, maka di semua sekolah wajib memberikan pendidikan agama yang di dasarkan pada imbangan pertumbuhan anak”. Itulah sebagian pemikirannya yang tampaknya takkan lapuk karena zaman, selama Pancasila masih menjadi ideologi bangsa Indonesia.
Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada seseorang warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Tindak kepahlawanan adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat.
Berjuang Sejak Belia
Sarmidi adalah anak Mangoensarkoro. Lahir di Surakarta tanggal 23 Mei 1904, wafat pada tanggal 8 Juni 1957 di Jakarta, dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Wijaya Brata Yogyakarta.
Meskipun anak seorang “ronggo” kepala desa, yang notabene dekat dengan kekuasaan, sikap dan kepribadiannya tetap nampak sederhana. Sikap memihak kepada rakyat dan kebangsaan ditempa terus menerus dalam kancah pergerakan dan perjuangan sejak muda belia. Usia kurang dari 20 tahun, sudah malang melintang dalam dunia pergerakan. Tak ayal, pada usia 22 tahun pada tahun 1926 ketika masih belajar di Sekolah Guru, sudah memimpin Jong Java Yogyakarta sebagai ketua. Setahun kemudian mendirikan “Pemuda Indonesia” Cabang Yogyakarta dan sekaligus menjadi anggota pengurus besar “Pemuda Indonesia”.
Dalam Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan “Soempah Pemoeda”, Sarmidi menyampaikan pidato tentang Pendidikan Nasional. Terdapat tiga gagasan inti dalam pidatonya tersebut, ialah (1) anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2) harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3) anak juga harus dididik secara demokratis.
Dalam dunia pendidikan, kiprah Sarmidi dimulai dari menjadi Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Salah satu gagasannya yang kental dengan semangat kebangsaan ialah memelopori gerakan kepanduan yang bebas dari pengaruh penjajahan.
Sebelum Indoensia merdeka, kancah perjuangan pendidikannya diaktualisasikan melalui Perguruan Tamansiswa. Pada tahun 1932, selama 8 tahun, menjadi Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, merangkap sebagai Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Salah satu andil besar yang sangat monumental bagi Tamansiswa adalah karyanya merumuskan “Panca Dharma” Tamansiswa dalam sebuah tim kecil. Saking besarnya peran Ki Sarmidi Mangoensarkoro, tim kecil ini diberi nama “Panitia Mangoensarkoro”. Panca Dharma Tamansiswa itulah yang sampai kini menjadi salah satu filosofi dasar Tamansiswa, di samping Azas Tamansiswa 1922.
Pada tahun 1949, Ki Sarmidi Mangoensarkono ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sebagai Menteri Pendidikan, Ki Sarmidi Mangoensarkoro membidani lahirnya Undang Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Seluruh Indonesia. Itulah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang pertama pasca proklamasi kemerdekaan.
Menurut catatan Departemen Pendidikan Nasional, jika hingga tahun 2009, Republik Indonesia telah mengalami 39 periode pergantian Menteri Pendidikan Nasional, maka 3 periode diantaranya dijabat oleh Ki Sarmidi Mangoensarkoro. Ialah periode ke 9, 11, dan 12 antara tahun 1949-1950. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya menjabat Menteri saat keadaan politik yang tidak stabil. Hanya mereka yang memiliki jiwa dan semangat pengabdian luar biasa kepada bangsa dan negaranya yang mampu melakukannya.
Dalam bidang politik, sosok Sarmidi sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan. Hal itu tampak dalam sikap M Natsir, tokoh Masyumi yang berseberangan dengannya. “... manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul: ”Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro”. (Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008).
Suri Tauladan
Sesungguhnya, sepenggal tulisan ini dipastikan tidak akan dapat menggambarkan sosok kepahlawanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro secara utuh. Namun demikian keteladanan Ki Sarmidi Mangoensarkoro sebagai pejuang pengabdi masyarkat, bangsa, dan negara Indonesia tidak dapat disanggah. Ia adalah pejuang yang mengarungi berbagai lapangan kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Seluruh hidupnya, sejak muda belia sampai wafatnya, diabdikan untuk keluhuran bangsanya.
Satu hal perlu dicatat bahwa, sikap konsisten dan konsekuennya terhadap pilihan hidup yang diyakininya, tidak mengendorkan kedekatannya dengan kepentingan rakyat. Demikianlah maka, jabatan dan kekuasaan difahaminya sebatas sarana untuk mengabdi, dan bukan tujuan pengabdiannya. “Dalam negara Pancasila, maka pendidikan harus berdasar Pancasila. Atas dasar falsafah Pancasila, maka di semua sekolah wajib memberikan pendidikan agama yang di dasarkan pada imbangan pertumbuhan anak”. Itulah sebagian pemikirannya yang tampaknya takkan lapuk karena zaman, selama Pancasila masih menjadi ideologi bangsa Indonesia.
Artikel dimuat Majalah SISWA, Nopember 2009
0 komentar:
Posting Komentar