Minggu, 21 Februari 2010

KI HADJAR DEWANTARA :
Menebar Benih Jiwa Merdeka
Oleh : Ki Sugeng Subagya


Menumbuhkan dan mengembangkan jiwa merdeka. Itulah tujuan yang ingin dicapai oleh Perkumpulan Selasa Kliwonan. Jiwa merdeka adalah prasyarat untuk tercapainya kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, dan kini telah 64 tahun, masihkah diperlukan upaya menumbuhkan dan mengembangkan jiwa merdeka itu ?

Perkumpulan Selasa Kliwonan
Berdiri pada tahun 1921. Bukan merupakan lembaga atau organisasi formal. Perkumpulan ini tidak lebih sebatas forum diskusi kaum cendekiawan dan budayawan pada masa itu. Mereka sangat peduli terhadap nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Kepeduliannya jauh sampai kepada rasa keprihatinan. Hidup dalam kekuasaan penjajahan lebih dari 3 abad, rakyat tetap miskin, bodoh, dan terbelakang. Tatkala bangsa di belahan dunia yang lain hidup dalam kemakmuran, bangsa Indonesia yang tercengkeram dalam kuku penjajahan masih dalam penderitaan.

Perkumpulan Selasa Kliwonan yang diketuai oleh Ki Ageng Suryomentaram dan Soewardi Suryaningrat sebagai sekretaris itu, terdiri dari 9 orang. Ialah, Ki Ageng Suryomentaram, RM Soetatmo Soeryokusumo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, BRM Subono, Ki Ageng Surjo Putro, Soewardi Suryaningrat, Ki Sutopo Wonobojo, dan RM Gondoatmodjo.
Keprihatinan yang mendalam atas nasib bangsa dalam penderitaan, mau tidak mau perkumpulan ini harus bersinggungan dengan ranah politik. Artinya, agar rakyat tidak selalu dalam penderitaan, maka penjajah harus dienyahkan dan rakyat harus dimerdekakan. Kolonialisme sebagai praktik politik, harus dilawan dengan praktik politik pula. Kolonialisme sebagai gagasan, maka harus dilawan dengan gagasan pula. Demikian pula ketika pendidikan dijadikan alat politik kolonialisme maka harus pula dilawan dengan mempergunakan pendidikan sebagai alat politik. Oleh sebab itu rakyat harus cerdas. Rakyat harus diberikan pencerahan untuk membuka wawasannya. Bagaimanapun kemerdekaan adalah pintu gerbang lepas dari penderitaan.

Demikianlah, perkumpulan Selasa Kliwonan kemudian sepakat, pentingnya menanamkan jiwa merdeka bagi setiap anak bangsa Indonesia. Satu-satunya cara untuk menanamkan jiwa merdeka itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan. Baik itu pendidikan formal, in-formal, maupun non-formal.

Sepakatlah perkumpulan Selasa Kliwonan menanamkan jiwa merdeka pada setiap diri anak bangsa melalui pendidikan. Ditugaskanlah Ki Ageng Suryomentaram mendidik orang dewasa dalamrangka menanamkan jiwa merdeka. Dan Soewardi Suryaningrat mendidik anak-anak. Ki Ageng Suryomentaram kemudian mengembangkan ilmu jiwa Kawruh Begja, yang kemudian berkembang menjadi Kawruh Jiwa. Dan Soewardi Suryaningrat mendirikan Perguruan Tamansiswa sebagai sebuah lembaga pendidikan.
Perkumpulan Selasa Kliwonan, sesungguhnya memiliki tujuan lebih dari sekadar tercapainya Indonesia merdeka. Indoensia merdeka adalah tujuan antara untuk hamemayu hayuning bawana, hamemayu hayuning bangsa, dan hamemayu hayuning salira, yang kemudian dikenal sebagai TRI-HAYU. Ialah, tercapainya kebahagiaan alam semesta, kebahagiaan bangsa dan kebahagiaan diri. Tri-hayu akan dapat dicapai apabila setiap diri manusia memiliki jiwa merdeka.

Makna Merdeka
Setidaknya, dengan mencermati uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa meskipun kemerdekaan bangsa Indonesia sudah berhasil diproklamasikan, tetapi upaya menanamkan dan menumbuh-kembangkan jiwa merdeka tetap harus dilakukan. Mengingat bahwa Tri-hayu masih harus terus diupayakan tercapainya.

Tri-hayu setidaknya mengajarkan kepada kita, bahwa kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju kebahagiaan bukan semata-mata kebahagiaan pribadi. Tetapi kebahagiaan pribadi harus mengingati kebahagiaan bangsa. Kebahagiaan bangsa harus mengingati kebahagiaan alam semesta. Dengan demikian tidak akan ada kebahagiaan pribadi tanpa ada kebahagiaan bangsa dan alam semesta. Membangun kebahagiaan pribadi harus dimaknai sekaligus membangun kebahagiaan bangsa dan kebahagiaan alam semesta.

Secara analogis, demikian halnya tentang kemerdekaan. Kemerdekaan itu bukan semata-mata kemerdekaan pribadi, tetapi harus berada dalam proporsi kemerdekaan bangsa dan kemerdekaan umat manusia. Karenanya, kemerdekaan sesungguhnya bukan kemerdekaan yang tidak tak terbatas. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaannya orang lain. Kemerdekaan suatu bangsa dibatasi pula oleh kemerdekaannya bangsa lain. Oleh karena itu kemerdekaan itu sifatnya universal, milik setiap orang dan milik setiap bangsa.

Jika orang akan mengaktualisasikan kemerdekaan dirinya, maka ingatilah kemerdekaan orang lain. Jika suatu bangsa akan mengaktualisasikan kemerdekaannya maka ingatilah kemerdekaan bangsa lain. Kita, adalah individu-individu yang tidak dipisahkan oleh kehendak merdeka itu, tetapi hakikatnya kita disatukan oleh alam semesta untuk mengaktualisasikan kemerdekaan itu secara bersama-sama untuk kebahagiaan bersama.

Jika ada orang yang masih merasa tertekan oleh orang lain. Jika ada orang masih memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Jika masih ada orang yang takabur dan sombong ketika sukses. Jika masih ada orang tertawa senang atas penderitaan orang lain. Dan jika masih ada orang yang irihati atas kesuksesan orang lain. Maka itulah sesungguhnya ciri-ciri orang yang belum tumbuh dan berkembang jiwa merdekanya.

Belajar dari Ki Hadjar Dewantara
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, disambut riang gembira oleh seluruh rakyat Indonesia. Saat yang diimpi-impikan berabad-abad telah tercapai. Tidak kurang Ki Hadjar Dewantara mewartakan kemerdekaan Indonesia itu. Di Yogyakarta, dengan naik sepeda, Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara keliling kota memberitahukan kepada rakyat bahwa Indonesia telah merdeka.

Proklamasi kemerdekaan ternyata bukan titik akhir dari perjuangan panjang. Tetapi sesungguhnya malah merupakan titik tolak awal untuk tercapainya kemerdekaan hakiki. Untuk itu tugas berat telah menghadang di depan mata. Bagi Ki Hadjar Dewantara, tugas berat itu adalah saat ditunjuk sebagai Menter Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Tugas berat itu ialah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi pendidikan nasional. Berabad-abad sistem pendidikan Indonesia diporak-porandakan oleh kolonialisme. Sungguh tugas yang tidak ringan membangun kembali sebuah sistem pendidikan nasional yang tinggal puing-puing.

Tugas berat itulah yang sukses dipikul oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam waktu yang sangat singkat, sistem pendidikan nasional telah tergambar jelas kerangkanya, ialah kembali kepada jati diri bangsa Indonesia. Pendidikan nasional dibangun atas kerangka universalitas tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.


Artikel dimuat Majalah SISWA, Agustus 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons