Minggu, 21 Februari 2010

KI HADJAR DEWANTARA :
Kegagalan Adalah Sukses Tertunda
Oleh : Ki Sugeng Subagya


TANGGAL 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara wafat. Wafatnya meninggalkan duka mendalam. Tetapi, disamping itu beliau juga meninggalkan warisan monumental dan tepa palupi atas pengabdian yang luar biasa kepada bangsanya. Atas pengabdian yang tulus sepenuh hidupnya bagi kemerdekaan, kebesaran dan kesejahteraan bangsa Indonesia-lah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikenang.

Soewardi, demikian nama kecil Ki Hadjar Dewantara, sejak kanak-kanak dalam lingkungan ndalem Suryaningratan, pergaulannya tidak terbatas tembok istana Pakualaman. Anak-anak rakyat jelata temannya, diajak masuk ke Pura Pakualaman. Misalnya untuk melihat pergelaran wayang kulit dan pertunjukkan kesenian lainnya. Hal ini menunjukkan keberpihakan Soewardi kepada rakyat pada umumnya.

Setamat Europeesche Lagere School (ELS), Soewardi meneruskan pelajarannya ke Kweekschool (Sekolah Guru Belanda). Hanya satu tahun untuk kemudian pindah ke Stovia (Sekolah Dikter Jawa). Karena kecerdasannya dan penguasaan bahasa Belanda yang sangat baik, Soewardi menerima beasiswa. Di Stovia inilah Soewardi bertemu dengan Tjipto Mangoenkosoemo, Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, dan lain-lain, yang kelak adalah teman seperjuangannya mewujudkan Indonesia merdeka.

Lima tahun Soewardi menuntut pelajaran di Stovia. Belum sampai lulus terpaksa harus keluar. Dengan dalih karena sakit selama empat bulan sehingga tidak naik kelas, maka beasiswanya dicabut. Tetapi ada sinyalemen, alasan sakit sesungguhnya bukan satu-satunya sebab dicabutnya beasiswa. Ada alasan politis di balik itu. Pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah Soewardi mendeklamasikan sebuah sajak dalam sebuah pertemuan. Sajak itu menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, panglima perang andalan Pangeran Diponegoro. Sajak itu digubah oleh Multatuli dalam bahasa Belanda yang sangat indah. Dibawakan oleh Soewardi dengan penghayatan penuh penjiwaan. Tak pelak, pagi harinya, setelah pembacaan sajak itu, Soweardi dipanggil Direktur Stovia dan dimarahi habis-habisan. Ia dituduh telah membangkitkan semangat memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Tidak ada penyesalan karena gagal menjadi dokter. Lapangan berjuang untuk rakyat bukan hanya sebagai dokter. Bidang jurnalistik, politik, dan pendidikan memberi peluang pula untuk berjuang. Oleh karena itu, meski dikeluarkan dari Stovia bernuansa hukuman, tetapi dengan senang hati dan penuh kebanggaan Soewardi menerimanya sebagai konsekuensi sebuah perjuangan. Dengan penuh haru tetapi membanggakan, teman-temannya seperti Tjipto Mangoenkosoemo, Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, melepas Soewardi meninggalkan bangku Stovia.

Keluar dari Stovia kemudian Soewardi bekerja menjadi analis di pabrik gula Kalibagor Banyumas. Dasar wataknya yang mengabdi rakyat, disini Soewardi mengenal dan mempelajari hidup dan kehidupan buruh pabrik. Penghisapan majikan terhadap buruh-buruh pabrik ditulisnya dalam bentuk artikel. Tulisan-tulisan itu dikirimnya ke surat kabar Midden Java, yang saat itu terbut di Jawa Tengah.
Mulai nampak bakat menulis Soewardi. Sahabat lamanya Douwes Dekker menawarinya untuk membantu memimpin majalah Het Tijdschrift dan harian De Expres di Bandung (1991). Disamping itu juga menerima tawaran Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam di Bandung, dan sekaligus memimpinnya. Lapangan jurnalistik dan politik adalah babak baru perjuangan Soewardi.

Bersama dengan Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo mendirikan dan memimpin Indische Partij. Indische Partij adalah organisasi politik pertama dalam sejarah Indonesia. Dengan tegas dinyatakan bahwa tujuan Indische Partij adalah tercapainya Indonesia Merdeka.

Melalui Komite Bumi Putera yang dibentuknya, Soewardi menentang kebijaksanaan pemerintah yang akan mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Pesta akan diselenggarakan dengan memungut iuran dari raykat pribumi yang dijajahnya. Ironis, bangsa terjajah harus membiayai pesta pora peringatan kemerdekaan bangsa yang menjajahnya.

Ribuan eksemplar brosur berjudul Als ik Eens Nederlander Was yang ditulis Soewardi disebar luas. Brosur ini dianggap menghasut rakyat. Akibatnya pemerintah melarang dan membubarkan Indische Partij. Perjuangan tidak mengenal menyerah, secara susul menyusul, terbit pula karangan Dr. Tjipto Mangoenkosoemo berjudul Kracht of Vrees. Kemudian karangan Soewardi berjudul Een voor allen, maar ook Allen voor Een. Akhirnya ditutup oleh karangan Douwes Dekker berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkosoemo en RM Soewardi Suryaningrat. Lengkaplah sudah tiga bersahabat itu menulis karangan yang sama substansinya, ialah ungkapan kristis menentang penjajahan dan menuntut kemerdekaan. Akibatnya, satu persatu mereka ditangkap, diadili, dan dipenjarakan. Atas kesepakatan mereka bertiga, mereka diasingkan ke Nederland.

Ada satu hal yang menarik, saat sidang pengadilan dimana vonis dijatuhkan, Pangeran Suryaningrat, ayah Soewardi, hadir. Begitu sidang ditutup, Soewardi langsung menghampiri ayahandanya. Sesaat kemudian Pangeran Suryaningrat mengulurkan tangannya, lalu berkata: “aku bangga atas perjuanganmu. Terimalah doa dan restu bapak. Ingat, seorang ksatriya tidak akan menjilat ludahnya kembali”.

Hikmah
Demikianlah, kita dapat memetik hikmah dari keteladanan Ki Hadjar Dewantara ini dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Adakalanya orang sukses mengarungi kehidupan, tetapi juga tidak jarang gagal di tengah perjalanan. Tetapi kegagalan sesungguhnya bukan titik akhir dari segala daya upaya. Di balik kegagalan ada pemicu untuk berusaha hingga berhasil. Barangkali hanya jalannya yang berbeda. Kegagalan bukan malapetaka, dan kegagalan bukan pula kiamat. Setelah gagal sesungguhnya masih ada harapan.
Artikel dimuat Majalah SISWA, Mei 2009.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons